Bismillahirrahmaanirrahim
Setelah beberapa waktu bersama dengan teman-teman baru di Keluarga Sustainable Living, banyak sekali ilmu yang saya dapatkan. Saya merasa beruntung masuk ke keluarga ini, karena mereka semua sudah banyak pengalaman yang belum pernah saya dapatkan.
Tapi untuk jurnal minggu ini, saya pilih 1 ilmu dulu untuk saya tulis disini dan sudah dilakukan oleh sebagian besar anggota grup, yaitu Composting atau pengomposan
Pasti kita sudah tidak asing lagi dengan kata 'kompos'. Tapi apakah semua orang tahu apa kompos itu sebenarnya? Saya rasa tidak, karena saya sendiri baru mengenal kompos setelah saya mengolah sampah organik setahun yang lalu.
Kompos merupakan bahan organik seperti daun-daunan, alang-alang, jerami, rumput-rumput, batang jagung, kotoran hewan, dll yang telah mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme pengurai sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki sifat tanah. Kompos memiliki hara-hara mineral yang penting bagi tanaman.
Sisa tanaman, hewan, atau kotoran hewan, berperan penting dalam perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Di lingkungan alam terbuka, proses pengomposan bisa terjadi dengan sendirinya. Lewat proses alami, rumput, daun-daun, kotoran hewan dan sampah lainnya lama kelamaan akan membusuk karena adanya kerjasama antara mikroorganisme dengan cuaca.
Dan proses ini bisa dipercepat oleh manusia yaitu dengan menggunakan bioaktivator perombak bahan organik.
Pengomposan merupakan praktek tertua untuk menyiapkan pupuk organik yang selanjutnya dikembangkan menjadi kunci teknologi untuk mendaur ulang limbah permukiman dan perkotaan. Di Indonesia kemungkinan besar proses pengomposan ink diperkenalkan oleh pakar pertanian Belanda.
Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman karena perbandingan kandungan C/N dalam bahan tersebut tidak sesuai dengan C/N tanah.
Rasio C/N merupakan perbandingan antara Karbon (C) dan Nitrogen (N). Rasio C/N tanah berkisar antara 10-12.
Apabila bahan organik mempunyai rasio C/N mendekati atau sama dengan rasio C<
/N tanah, maka bahan tersebut dapat digunakan tanaman. Namun pada umumnya bahan organik segar mempunyai rasio C/N tinggi. Prinsip pengomposan adalah untuk menurunkan rasio C/N bahan organik hingga sama dengan C/N tanah yaitu kurang dari 20. Semakin tinggi rasio C/N bahan organik, semakin lama juga proses perombakan atau pengomposannya.
Proses perombakan bahan organik terjadi secara biofisika-kimia, melibatkan aktivitas biomikroba dan mesofauna. Secara alami proses peruraian tersebut bisa dalam keadaan aerob (dengan oksigen) maupun anaerob (tanpa oksigen).
Proses perombakan tersebut, baik secara aerob atau anaerob, akan menghasilkan hara dan humus. Proses bisa berlangsung jika tersedia N (Nitrogen), P(Fosfor) dan K(Kalium).
Selama proses pengomposan berlangsung, terjadi perubahan kualitatif dan kuantitatif. Ditahap awal beberapa spesies flora menjadi aktif , makin berkembang dalam waktu yang cepat, dan kemudian hilang untuk memberikan kesempatan pada populasi lain untuk menggantikan
Pada pengomposan aerob kurang lebih dua pertiga unsur Karbon (C) menguap menjadi Karbondioksida, dan sisanya satu pertiga bagian bereaksi dengan Nitrogen dalam sel hidup. Proses pengomposan aerob ini tidak menimbulkan bau busuk. Selama proses pengomposan berlangsung akan timbul panas sebagai pelepasan energi. Kenaikan suhu ini menguntungkan mikroorganisme selama kenaikan suhunya tidak melebihi 65-75°C.
Sedangkan pada pengomposan anaerob, ditahap awal bakteri penghasil asam menguraikan bahan organik menjadi asam lemak, aldehida, dll. Proses selanjutnya bakteri dari kelompok lain akan mengubah asam lemak menjadi gas metan, amoniak, karbondioksida dan hidrogen. Pada proses anaerob energi yang dilepaskan lebih kecil dibanding proses aerob.
Sumber: balittanah.litbang.pertanian.go.id
dan diskusi di grup
No comments:
Post a Comment